MENGUPAS YURIDIS PERLAKUAN HAK GUNA USAHA ATAS TANAH LAHAN
Saling klaim terjadi antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dan HRS atas hak lahan seluas kurang lebih 31,91 hektare di kawasan okupan lahan perkebunan PTPN VIII yang kini, salah satunya, telah berdiri Pondok Pesantren Agrikultural Markaz Syariah, tepatnya di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Bagaimana ketentuan yuridis seputar hak guna usaha (HGU)? Berikut ulasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara berurutan berdasarkan tahun, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak atas Tanah, dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentangPengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU.
Beleid hak guna usaha (HGU) dalam UU Agraria diatur secara rigid pada Bagian IV yang terdiri atas tujuh pasal, mulai dari Pasal 28 hingga Pasal 34.
Pasal 28 berisi tiga ayat yang menjelaskan definisi HGU, luas tanah HGU, dan pengalihan HGU. Ayat (1) menyebutkan HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
Ayat (2) menyebutkan HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektare (ha) hingga 25 ha atau lebih. Untuk HGU seluas 25 ha atau lebih, maka berlaku ketentuan harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.
Ayat (3) menyebutkan Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 29 yang terdiri dari tiga pasal mengatur bahwa HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Tapi untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama, maka dapat diberikan HGU paling lama 35 tahun. Di sisi lain, atas permintaan pemegang HGU dan mengingat keadaan perusahaannya, maka HGU dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun.
Subjek yang bisa memiliki HGU, klausalnya tercatat pada Pasal 30. Yaitu warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Bagi orang atau badan hukum yang mempunyai HGU dan tidak lagi memenuhi persyaratan seperti dalam ayat (1), maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh HGU jika ia tidak memenuhi syarat tersebut.
Jika HGU tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu satu tahun, maka hak itu hapus karena hukum. Dengan ketentuan, hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. "Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah," bunyi Pasal 31.
Untuk pendaftaran HGU, diamanahkan dalam Pasal 32 yang terdiri atas dua ayat. Pasal a quo secara utuh berbunyi:
Pasal 32
(1) Hak guna-usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
(2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Merujuk pada Pasal 19, terdiri atas empat ayat, pendaftaran di seluruh wilayah Republik Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Untuk pendaftaran meliputi tiga hal yaitu perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak, dan pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pendaftaran tanah dilakukan dengan mengingat keadaan negara, masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi, dan kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. Biaya-biaya pendaftaran tanah diatur dalam PP, dengan ketentuan bagi rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Sedangkan Pasal 34 huruf e hingga huruf g mengamanahkan bahwa HGU hapus atau lenyap karena tujuh kondisi. Diktum lengkap pasal a quo yaitu:
Pasal 34.
Hak guna-usaha hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Dalam memori penjelasan UU Agraria, diktum Pasal 34 termasuk huruf e (diterlantarkan) tidak ada penjelasannya. Dalam memori penjelasan UU a quo tercatat bahwa "Pasal 31 s/d 34. Tidak memerlukan penjelasan."
Untuk membandingkan kata "diterlantarkan" Pasal 34 huruf a, maka digunakan ketentuan Pasal 27 UU yang sama. Pasal ini hakikatnya mengatur tentang terhapusnya hak milik tanah. Hak milik lenyap jika dalam dua kondisi yaitu tanahnya jatuh kepada negara (huruf a) dan tanahnya musnah (huruf b). Hak milik lenyap karena tanah jatuh kepada negara karena empat keadaan. Satu di antaranya "karena diterlantarkan".
Pada penjelasan Pasal 27 disebutkan bahwa "Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya."
Berikutnya PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak atas Tanah. Klausul HGU termuat pada BAB II "Pemberian Hak Guna Usaha" yang terdiri atas 17 pasal, mulai dari Pasal 2 hingga Pasal 18.
Secara umum, subjek yang bisa memiliki HGU, pelepasan atau pengalihan hak, tanah yang diberi HGU adalah milik negara, luas minimum dan maksimum tanah HGU, jangka waktu, perpanjangan atau pembaharuan HGU, hingga HGU hapus hampir serupa dengan ketentuan yang ada dalam UU Agraria. Tetapi, dalam PP diuraikan dengan lebih detil.
Untuk luas minimum tanah HGU untuk perorangan warga Indonesia maupun badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia adalah 5 ha. Maksimum untuk perorangan 25 ha. Sedangkan untuk badan hukum ditetapkan oleh Menteri. Penetapan tersebut memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan dan dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan.
Berikutnya, HGU diberikan dengan keputusan pemberian oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberian HGU wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan dan HGU terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam buku tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepada pemegang HGU kemudian diberikan sertifikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak.
Bagi pemegang HGU, terdapat kewajiban dan hak seperti diamanahkan dalam Pasal 12 hingga Pasal 15. Pemegang HGU berkewajiban untuk melakukan delapan hal sebagaimana Pasal 12 ayat (1). Di antaranya yaitu: 1. membayar uang pemasukan kepada negara. 2. melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.
3. mengusahan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkanoleh instansi teknis. 4. membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal HGU.
5. memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam, dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU.
Di sini, pemegang HGU dilarang menyerahkan pengusahaan tanah HGU kepada pihak lain. Kecuali, dalam hal-hal yang diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk hak pemegang HGU, disarikan sebagai berikut: 1. berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan HGU untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan.
2. penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah yang diberikan dengan HGU.
3. pengunaan dan penguasaan pada poin dua hanya bisa dilakukan untuk mendukung usaha, dengan mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitarnya.
Diktum hapusnya HGU perorangan atau badan hukum tertulis pada Pasal 17 terdiri atas tiga ayat dan Pasal 18 terdiri atas empat ayat.
Pasal 17 ayat (1) menyebutkan bahwa HGU hapus karena tujuh kondisi:
1. berakhirnya jangka waktu sebagai ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya (huruf a).
2. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena dua (huruf b). Masing-masing yaitu tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14, serta putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir (huruf c).
4. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1991 (huruf d).
5. ditelantarkan (huruf e).
6. tanahnya musnah (huruf f).
7. ketentuan Pasal 3 ayat (2) (huruf g).
"Hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara," bunyi Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 40 Tahun 1996.
Subjek dan jangka waktu HGU juga diatur dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentangPengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU, Pasal 2 dan Pasal 3. Sedangkan penggunaan tanah HGU serta penggunaan dan penguasaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas HGU tertera di antaranya pada Pasal 12 hingga Pasal 15. Untuk ketentuan harusnya HGU tercatat di antaranya pada Pasal 53 dan 54. Saat terhapusnya HGU, maka tanahnya menjadi tanah negara.
Lantas bagaimana jika sertifikat HGU atas tanah telah terbit tetapi ada pihak lain yang merasa memiliki hak ingin menguasai tanah tersebut? Pasal 30 Peraturan a quo memberikan jawabannya.
Pasal 30
Dalam hal Hak Guna Usaha telah diterbitkan sertifikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan secara nyata dikuasai pemegang haknya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 10 (sepuluh) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Lebih dari itu, Peraturan ini juga merumuskan tentang pemantauan dan evaluasi sebagaimana pada Pasal 56. Pemantauan dan evaluasi terhadap penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah HGU dilakukan oleh Kementerian berdasarkan laporan dari pemegang HGU, pengaduan masyarakat atau hasil pemantauan di lapangan. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala terhitung 1 tahun sejak diterbitkannya sertifikat HGU.•
(NTO)
Komentar
Posting Komentar